Part 2
Seorang ibu duduk dengan terkantuk-kantuk sambil memegang keranjang kecil di pangkuannya. Keranjang berisi sayur-mayur, tahu, tempe, juga sebungkus ikan asin biji nangka. Ibu itu terbangun ketika tib-tiba sopir mengerem secara mendadak. Bahkan keranjang yang dia pegang hampir menindih si anak kecil yang duduk di sebelahnya. Ibu itu menoleh pada anak itu, "Kamu sendirian? Mau ke mana?" tanyanya.
"Dari pasar, Cil. Ini mau ke sekolah," jawab anak tersebut.
Empat ibu-ibu naik ke taksi yang mereka tumpangi, salah satunya duduk di sebelah kiri anak tersebut. Sekarang anak itu terjepit diantara dia ibu yang sama-sama memangku bawaan banyak. Sopir taksi kembali melajukan kendaraan. Kali ini sang laju taksi lebih cepat dari sebelumnya. Jumlah penumpang telah mencapai delapan orang. Bahkan, sekarang taksi telah dipenuhi dengan berbagai macam bawaan penumpang. Bahkan, ada dua karung bertumpuk di dekat pintu taksi, entah apa isi karung itu.
Taksi melaju dengan kencang ketika memasuki jalan raya. Tidak seperti biasanya yang selalu padat, pagi ini jalanan masih lengang. Perjalanan dari pasar ke kilo yang biasanya memerlukan hampir satu jam, pagi ini hanya ditempuh tiga puluh menit.
Sopir menghentikan taksi di seberang sebuah sekolah dasar. Dengan susah payah anak tadi keluar dari taksi yang dipenuhi karung dan penumpang, "Makasih, Paklek." sambil memberikan uang empat ribu, anak itu berterima kasih.
Taksi melaju kembali. Anak itu menyeberang dengan dibantu oleh satpam sekolah, "Tumben kamu endak terlambat, Dan. Sana cepat mandi, mumpung masih sepi!" perintahnya.
"He he he ... Iya, Pak." Anak yang dipanggil Dan itu lantas berlari memasuki area sekolah menuju kamar mandi yang ada di sebelah kanan ruang kelas.
Tak butuh waktu lama, Dan keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Kini dia sudah memakai baju seragam merah putih dan bersepatu. Baju yang dipakai Dan terlihat kusut. Bahkan, warna putihnya sudah pudar dan berubah kekuning-kuningan. Juga terdapat banyak noda getah di sana. Keadaan celananya juga sama memprihatinkan. Celana itu sudah robek bagian lutut dan juga telah kependekan. Sepatu sedikit berlubang dan kaos kaki yang telah melar. Dari kamar mandi lalu Dan melangkah menuju kantin. Tas yang sudah terlihat kempis itu dia selempang di pundak.
"Ramadan ...."
Sebuah panggilan menghentikan langkahnya. Anak yang dipanggil Ramadan itu menoleh mencari asal suara. Rupanya ada teman sekelasnya dari arah pintu gerbang sekolah.
"Tumben pagi sudah datang?" tanya anak yang baru datang dengan ngos-ngosan itu.
"Iya, nih, endak tahu tadi jalanan sepi jadi taksi yang kutumpangi bisa ... wuzzzz ...." jawab Ramadan sambil memperagakan ucapannya. Tanganny kanannya dia gerakkan ke arah kiri dengan cepat sambil tertawa, "Aku mau ke kantin dulu," lanjutnya.
"Ayuk, aku juga."
Mereka pun pergi ke kantin sekolah. Sesampainya di kantin, mereka memesan makanan masing-masing. Ramadan memesan soto, sedangkan temannya membeli mi goreng. Sambil menunggu pesanan mereka bercanda dan sesekali menyapa teman yang keluar masuk kantin. Sesekali mereka juga menganggu adik kelas yang lewat. Sambil makan pun mereka masih juga berbuat jahil terutama adik kelasnya.
"Dan, kamu endak ngantuk? tadi ke pasar jam tiga, kan?"
"Endak, sudah biasa. Kalau pun ngantuk, ya, nanti tidur," jawab Ramadan enteng.
"Ini nanti pelajaran agama. Jangan sampai ketiduran! Bisa dihukum lagi, kamu!"
"Yahhh ... Endak janji." Ramadan terkekeh.
Begitulah anak yang bernama Ramadan itu. Anak kelas enam sekolah dasar yang sudah berumur lima belas tahun itu tetap menjalani hidup apa adanya. Membantu orang tua hal adalah yang utama sedangkan sekolah dia nomor duakan.
Terlahir di keluarga kurang mampu bukan pilihan Ramadan. Akan tetapi, bukan berarti harus menyalahkan takdir, justru hal itu menjadi cambuk untuk melakukan banyak hal. Meskipun demikian, dia tetaplah anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan dari orang tua. Sayangnya, dia memiliki orang tua yang tidak pernah sekolah. Mereka serba tidak tahu akan banyak hal, termasuk bagaimana mengarahkan anak-anak mereka. Bagi mereka memberi makan tiga kali sehari dan memberi uang jajan sudah lebih dari cukup.
Mereka tidak mengerti bagaimana membimbing anak mereka agar mempunyai masa depan yang lebih baik dari pada mereka.
Balikpapan, 3 Maret 2022
Komentar
Posting Komentar