Langsung ke konten utama

Anak Hebat

Anak Hebat

Ayo, Dani, ...  terus pukul. Dani kamu pasti bisa ... terus jangan kasih ampun. Teriakan-teriakan temanku membuatku lebih semangat memukul wajah Suhan, tak peduli ada cairan merah yang keluar dari sudut bibirnya. Dia sudah tak berdaya terlentang di tanah berumput dan kududuk diperutnya. Apa aku tidak kasihan? tentu saja tidak karena itu salah dia juga, kenapa jambu incaranku dia petik dan langsung dihabiskan. 

Hai, perkenalkan namaku La Dani, biasa dipaanggil Dani. Aku anak ke tiga dari empat bersaudara, kakak pertamaku bernama Rianti, dia sudah menikah, kakak keduaku Pone dia sekolah di Pondok Manggar, dan adikku Aysah dia masih umur lima tahun.

Oh iya nama bapakku, La Kene sedangkan mamaku bernama Wa Kaiko. Jam segini mereka pergi ke kebun, untuk merawat singkong dan serai yang sudah mereka tanam dengan susah payah.
Sebenarnya tadi aku diberi tugas mama untuk jagain adik, tapi  hari ini aku malas jaga adik yang tidak bisa diam itu.sambil mengendap-ngendap aku keluar rumah, mumpung Aysah asik nonton tifi dan kak Rianti sibuk ngupas labu.

Sebaiknya aku pergi ke rumah bos kabel saja.membawa hp pemberian sekolah. Pasti teman-teman ada di sana untuk main game, biasa cari internet gratis. Selama tidak sekolah kami sering menghabiskan waktu di sana.

Kata Bu Guru sekarang lagi masa pandemi, aku tidak mengerti apa itu pandemi dan covid, tapi senang juga tidak perlu ke sekolah. Aku hanya harus mengerjakan tugas di bantu Ibu Ganing. Memakai hp pemberian sekolah itu.

Sampai di rumah bos kabel, ternyata teman-temanku tidak di sana. "Ke mana mereka semua," gumamku dalam hati. "Apa mereka bermain di dekat rumah kakekku, ya?"

Bagaimana ini, tidak ada teman bermain. Aku juga takut ke rumah kakek, jam segini paman sudah pulang kerja. Pasti Suhan mengadu bapaknya kemarin sudah kupukuli, meskipun bapak Suhan adalah adiknya mama, tetep saja nanti aku di marahi, kalau tahu aku sudah memukul Suhan.

"Bagaimana dengan Suhan? apa lukanya masih sakit? mengapa aku jadi khawatir?"

"Dani, ... o... Dani," Tiba-tiba Irpan teriak dari seberang jalan dan tak tahu kapan dia datang.

"Apa," jawabku dengan malas. 

"Ayo, teman-teman sudah menunggu di depan rumah kakekmu, kita mau main kelereng," ajak Irpan " Juwar, bagi-bagi  kelereng." lanjutnya kemudian.

"Ndak ah, aku ndak ikut," jawabku sambil berbalik mau pulang.

"Ha ha ha, kamu takut dimarahi kakekmu, ya," katanya sambel menjulurkan lidah  mengejek. "Tenang saja Dan, minta maaf pada Suhan, pasti kakekmu tidak memarahimu," ujar Irpan.

Akupun berpikir sebentar dan benar, aku harus minta maaf pada Suhan. Kata Ibu Ganing mengakui kesalahan adalah ciri anak yang hebat dan aku ingin jadi anak yang hebat, berani mengakui kesalahan dan meminta maaf.

'Ayo, Pan," ajakku pada Irpan dan kemudian kami berjalan beriringan  ke rumah kakekku. 

Dari kejauhan terdengar riuh teman-teman bermain kelereng di halaman rumah kakekku. Semakin dekat hatiku semakin takut, tapi aku bertekat untuk memint maaf pada Suhan.

Sampai di sana, kulihat Suhan ikut bermain itu tandanya dia tidak apa-apa meski sudah kupukul.  Aku mendekatinya, "Han, aku minta maaf, ya," kataku padanya tanpa basa basi, tetapi Suhan tak menghiraukan dan tetap melihat kelerengnya yang disentil Juwar.

Han, ... aku mengikutinya sambil mengulurkan tangan mengajaknya berjabat tangan. Sepertinya dia masih marah, tetapi aku tak putus asa untuk mendapat maaf darinya dan terus saja meminta maaf sambil mengikuti dia yang sedang  menyentil kelereng. Mungkin karena terganggu  sentilannya meleset dan dia melihatku sebentar kemudian melihat kelerengnya yang tengah dibidik Juwar.

"Han, sudah maafkan saja!" ucap Juwar sambil menyentil kelereng dan gol.

"Iya, Han, maafin!" kali ini Jamal ikut bicara.

Tiba-tiba Suhan berdiri dan menghadap padaku, diapun mengulurkan tangannya. Kamipun berjabat tangan tanda berdamai. Sambil berjabat tangan Suhan berucap " aku juga minta maaf, sudah ambil jambu incaranmu.

Teman-temanpun bersorak, ikut senang karena kami sudah berdamai. Sampai lupa kelerengnya berhamburan karena tak sengaja ketendang kami semua dan permainan berhenti.

"Ah, ... leganya," hatiku menjadi tenang dan tidak takut di marahi kakek atau paman. 

"Ayo, kita beli es!" Ajak Irpan tiba-tiba.

"Ayo, ...,"  kami menjawab serempak.

Kamipun berangkat beli es di warung Mama Jamal, kemudian melanjutkan permainan yang tertunda. Bahkan kami lupa kalau hari ini belum ke rumah Ibu Ganing  untuk mengerjakan tugas dari  Bu Guru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[6/11/2021 20:45] PB Raka Sena: Saya ingin bicara. [6/11/2021 20:45] PB Raka Sena: Saya makin lelah dengan keberadaan saya di penulisan. [6/11/2021 20:45] PB Raka Sena: Jika memang keberadaan saya di penulisan menjadi masalah untuk orang lain, saya akan mundur dengan segera. [6/11/2021 20:47] PB Raka Sena: Terkait siapa pun saya, mohon jangan mencari tahu terlalu banyak. Agama saya, masa lalu saya, status saya rasanya bukan hal penting untuk Teman-teman. Cukup kenali saya sebagai Raka Sena. [6/11/2021 20:47] PB Raka Sena: Jika selama mengenal saya pernah melukai ataupun merugikan Teman-teman, saya mohon maaf. [6/11/2021 20:49] PB Raka Sena: Fabula Publisher bermasalah di hari terakhir pendaftaran. Setelah posting PO kedua Kafaah banyak bermunculan orang-orang yang saya komunikasi pun tidak. [6/11/2021 20:49] PB Raka Sena: Saya merasa tidak merugikan mereka. [6/11/2021 20:50] PB Raka Sena: Fabula Diskusi mengundang member secara terbuka. [6/11/2021 20:50] PB Raka Sena: Saya tidak tahu s...

Panggil Aku Ramadan

Part 2 Seorang ibu duduk dengan terkantuk-kantuk sambil memegang keranjang kecil di pangkuannya. Keranjang berisi sayur-mayur, tahu, tempe, juga sebungkus ikan asin biji nangka. Ibu itu terbangun ketika tib-tiba sopir mengerem secara mendadak. Bahkan keranjang yang dia pegang hampir menindih si anak kecil yang duduk di sebelahnya. Ibu itu menoleh pada anak itu, "Kamu sendirian? Mau ke mana?" tanyanya. "Dari pasar, Cil. Ini mau ke sekolah," jawab anak tersebut.  Empat ibu-ibu naik ke taksi yang mereka tumpangi, salah satunya duduk di sebelah kiri anak tersebut. Sekarang anak itu terjepit diantara dia ibu yang sama-sama memangku bawaan banyak. Sopir taksi kembali melajukan kendaraan. Kali ini sang laju taksi lebih cepat dari sebelumnya.  Jumlah penumpang telah mencapai delapan orang. Bahkan, sekarang taksi telah dipenuhi dengan berbagai macam bawaan penumpang. Bahkan, ada  dua karung bertumpuk di dekat pintu taksi, entah apa isi karung itu. Taksi melaju dengan kencang...

Rahasia Gunung Semeru

Part VII Pria itu menerima gulungan kain dengan hormat, dia juga membungkukkan badannya saat menerima gulungan itu dan perlahan membukanya. Sesaat pria itu melihat Sans dan menarik nafas panjang sebelum mulai membaca dia berkata, "Ini peninggalan Empu Bameswara Tirtayasa  ditulis pada masa Khadiri. Tulisan ini memakai Bahasa Jawa Kuno dengan huruf Kuadrat." tentu saja Tuan sudah lupa. "Lupa?" tanya Sans tidak mengerti. "Kala itu, Tuan adalah panglima kami, junjungan kami, panutan kami, juga pengayom kami," jelas pria itu. "Thihita Ka Rana. Itu selalu Tuan ajarkan pada kami," lanjutnya. Dahi Sans mengernyit, dia sama sekali tidak mengerti. Namun, dia menunggu penjelasan pria itu. "Sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengapdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam dan lingkungan. Jadi selain hidup rukun dengan sesama manusia, masyarakat juga diajarkan rukun dengan alam," itu yang selalu...