Langsung ke konten utama

Mencari Teman

Mencari Teman 9
 Si Mauli Imut 

Aku memanggil Irfan dan Ririn yang masih bertengkar di seberang sungai sambil berusaha mematahkan Karang Munting yang menghalangi jalan kami. Sekilas kulihat Ririn dan Irfan menghentukan pertengkaran dan kemudian menyeberangi sungai. Tidak lama mereka pun sudah bergabung bersama kami dan ikut menyibak daun rambatan yang masih menghalangi. 


Kami berempat akhirnya bersama-sama membersihkan  tanaman rambat dan Karang Munting yang masih ada, meskipun tanpa alat kami biasa melakukannya, apalagi tumbuhan yang ada sangat mudah di cabut atau dipatahkan. Sampai kemudian kami bisa mendekat dan meraih mauli yang sebagian besar sudah masak itu.


Kami berempat tidak perlu berebut, karena Mauli yang bisa kami makan sangat banyak, Ririn yang cerewet memetik Mauli dengan menghitungnya. Sementara aku dan lainnya memetik dengan diam tapi dalam hati bersorak. Kami membawa  Mauli dengan cara menarik bagian bawah kaos dan mengangkatnya, bagian depan kami satukan dan dipegang tangan kiri, maka jadilah kantong ajaib mirip kantong Doraemon--film yang sering kami tonton di hari minggu--yang siap menampung Mauli.


Kami berhenti setelah kantong penuh dan aku pun mengajak teman-teman kembali ke seberang, maka kami berempat menyeberang. Sampai di seberang kami mencari tempat yang nyaman untuk makan. Setelah menoleh kiri kanan aku melihat Pohon Lay tidak jauh dari kami. Aku berjalan mendekati Pohon Lay, tanpa mengajak teman-teman karena aku tahu mereka pasti akan mengikutiku tanpa diajak.


Di bawah Pohon Lay, kami berempat mencari tempat duduk yang nyaman dan menumpahkan Mauli kami di tanah yang sedikit ditumbuhi rumput merambat dengan terburu-buru karena kami tak sabar ingin segera makan buah manis ini.


Kami makan Mauli dengan diam, seolah ingin berlomba siapa yang bisa menghabiskan lebih dahulu. Sekilas aku lihat teman-teman juga makan dengan lahap dan cepat, seolah-olah Mauli hanya digigit dan ditelan, "Pelan-pelan, woe! nanti kesedak," kataku pada mereka.


Tanpa memperdulikan omonganku teman-teman terus saja makan Mauli dengan cepat dan tanpa sadar ternyata aku juga mengikuti mereka. Aku menggigit setengah dari Mauli  lalu mengunyah beberapa kunyahan  dan menelannya. Buah mauli yang hanya sebesar ibu jari kaki,maka jangan heran kalau satu buah hanya sekali atau dua kali gigitan. Bahkan orang dewasa sering menjadikan dua atau tiga Mauli dalam satu gigitan.


bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[6/11/2021 20:45] PB Raka Sena: Saya ingin bicara. [6/11/2021 20:45] PB Raka Sena: Saya makin lelah dengan keberadaan saya di penulisan. [6/11/2021 20:45] PB Raka Sena: Jika memang keberadaan saya di penulisan menjadi masalah untuk orang lain, saya akan mundur dengan segera. [6/11/2021 20:47] PB Raka Sena: Terkait siapa pun saya, mohon jangan mencari tahu terlalu banyak. Agama saya, masa lalu saya, status saya rasanya bukan hal penting untuk Teman-teman. Cukup kenali saya sebagai Raka Sena. [6/11/2021 20:47] PB Raka Sena: Jika selama mengenal saya pernah melukai ataupun merugikan Teman-teman, saya mohon maaf. [6/11/2021 20:49] PB Raka Sena: Fabula Publisher bermasalah di hari terakhir pendaftaran. Setelah posting PO kedua Kafaah banyak bermunculan orang-orang yang saya komunikasi pun tidak. [6/11/2021 20:49] PB Raka Sena: Saya merasa tidak merugikan mereka. [6/11/2021 20:50] PB Raka Sena: Fabula Diskusi mengundang member secara terbuka. [6/11/2021 20:50] PB Raka Sena: Saya tidak tahu s...

Panggil Aku Ramadan

Part 2 Seorang ibu duduk dengan terkantuk-kantuk sambil memegang keranjang kecil di pangkuannya. Keranjang berisi sayur-mayur, tahu, tempe, juga sebungkus ikan asin biji nangka. Ibu itu terbangun ketika tib-tiba sopir mengerem secara mendadak. Bahkan keranjang yang dia pegang hampir menindih si anak kecil yang duduk di sebelahnya. Ibu itu menoleh pada anak itu, "Kamu sendirian? Mau ke mana?" tanyanya. "Dari pasar, Cil. Ini mau ke sekolah," jawab anak tersebut.  Empat ibu-ibu naik ke taksi yang mereka tumpangi, salah satunya duduk di sebelah kiri anak tersebut. Sekarang anak itu terjepit diantara dia ibu yang sama-sama memangku bawaan banyak. Sopir taksi kembali melajukan kendaraan. Kali ini sang laju taksi lebih cepat dari sebelumnya.  Jumlah penumpang telah mencapai delapan orang. Bahkan, sekarang taksi telah dipenuhi dengan berbagai macam bawaan penumpang. Bahkan, ada  dua karung bertumpuk di dekat pintu taksi, entah apa isi karung itu. Taksi melaju dengan kencang...

Rahasia Gunung Semeru

Part VII Pria itu menerima gulungan kain dengan hormat, dia juga membungkukkan badannya saat menerima gulungan itu dan perlahan membukanya. Sesaat pria itu melihat Sans dan menarik nafas panjang sebelum mulai membaca dia berkata, "Ini peninggalan Empu Bameswara Tirtayasa  ditulis pada masa Khadiri. Tulisan ini memakai Bahasa Jawa Kuno dengan huruf Kuadrat." tentu saja Tuan sudah lupa. "Lupa?" tanya Sans tidak mengerti. "Kala itu, Tuan adalah panglima kami, junjungan kami, panutan kami, juga pengayom kami," jelas pria itu. "Thihita Ka Rana. Itu selalu Tuan ajarkan pada kami," lanjutnya. Dahi Sans mengernyit, dia sama sekali tidak mengerti. Namun, dia menunggu penjelasan pria itu. "Sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengapdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam dan lingkungan. Jadi selain hidup rukun dengan sesama manusia, masyarakat juga diajarkan rukun dengan alam," itu yang selalu...