Pak Prabu Dan Putrinya
Di pinggiran hutan Jati yang masih angker, terdapat Desa yang penduduknya masih mempercayai berbagai mitos dan klenik. Mereka tidak berani melanggar adat yang masih di pegang teguh, mereka juga berpantang segala larangan yang berlaku.
Tempatnya yang jauh dari kota membuat Desa itu sejuk, indah banyak tanaman yang sudah langka, padi di sawah tumbuh subur, hewan peliharaan pun gemuk-gemuk, karena rumput tumbuh subur di pinggiran hutan.
Desa itu bernama Oro-oro Watu, memiliki Kepala Desa yang bernama Prabu Tapa Agung. Seorang Kepala Desa yang menjabat secara turun temurun, meskipun sekarang sudah berlaku pemilihan Kepala Desa. Tentu saja tidak seorang pun yang berani mencalonkan diri dalam pemilihan, Prabu Tapa Agung yang saat ini menjabat adalah generasi ke lima dari Kepala Desa sebelumnya. Dia seorang yang berhati dingin, disiplin, tetapi baik terhadap penduduk miskin. Hampir semua peraturan Desa berpihak pada penduduk miskin, salah satunya diadakannya pasar di hari pasaran¹ Legi.
Hari Sabtu Legi, tibalah hari dimana pasar akan buka. Pak Prabu mengajak semua puterinya berbelanja di pasar, mereka berjalan beriringan, Pak Prabu di depan sendiri diikuti ketujuh puterinya yakni; Purborarang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan Purbasari.
Tak lama rombongan Kepala Desa sampai di pasar, berhenti dan memandangi semua puterinya bergantian, Pak Prabu memerintah, "Kalian, belanjalah sesuka hati!"
Mendengar itu, semua puterinya berjalan ke arah pedagang yang menjual barang keinginan mereka.
"Monggo ngersakne nopo, Mbak?"² seorang nenek menawari rombongan puteri yang lewat, "Cenil, grontol, gethuk, lopis, ketan," lanjut nenek menawarkan dagangannya.
"Aku, ora doyan, Mbah."³ dengan ketus Purbararang menjawab, tanpa menghentikan langkahnya.
Sementara di belakang, seorang dari mereka berhenti di depan dagangan si Nenek, "Kulo, tumbas sedoso bungkus, njih Mbah,"⁴ dengan lembut dan sopan Purbasari memesan makanan tradisional itu.
Demikian seterusnya rombongan puteri bekeliling pasar, semua pedagang menawarkan dagangan pada mereka, tetapi tidak semua bersedia membeli meskipun sekedar membantu pedagang kecil itu, agar dagangannya laku. Berbagai alasan mereka lontarkan untuk menolak membeli barang atau makanan di sana.
Pak Prabu ingin mengetahui kepribadian ke tujuh puterinya, hingga diam-diam, memperhatikan sikap mereka saat di pasar. Tengah hari rombongan bapak dan puterinya pulang.
Sampai di rumah, Pak Prabu mengajak semua puterinya berbincang di taman belakang rumah. Satu persatu puterinya ditanya, apa yang sudah dibeli, mengapa membeli barang itu, juga kenapa tidak beli ditanyakan pada puteri sulungnya.
"Purbararang ... mengapa tidak beli apapun, Nak?" dengan lembut Pak Prabu menanyai.
"Aku, tidak suka, Pak," dengan kesal Purbararang menjawab, "Pasarnya, nampak kotor." lanjutnya. Dia tidak suka dengan sikap bapaknya yang membandingkan dia dengan adik-adiknya.
Pak Prabu, mendesah kecewa mendengar jawaban puterinya. Dia tau betul, puteri sulungnya itu sangat keras kepala dan cenderung sombong, sikapnya yang kurang baik menutupi kecantikannya.
Berbeda dengan puteri bungsunya, Purbasari, puterinya itu selain cantik jelita wajahnya juga baik budi pekertinya. Pak Prabu, sangat bangga dibuatnya.
Komentar
Posting Komentar