Panggil Aku Ramadan
Part 1
Setiap anak tidak bisa memilih akan dilahirkan di keluarga mana. Ibu seperti apa yang akan melahirkannya. Ibu yang cantik, sabar, penyayang, pintar, berbakat, ramah, sholehah, bekerja, di rumah saja, atau sebaliknya. Bapak yang bagaimana akan menjadi nasabnya. Bapak yang kaya, sabar, sayang keluarga, dermawan, atau malah sebaliknya.
Tak ada yang menginginkan dilahirkan oleh ibu yang tidak pandai, tidak ada yang mau dilahirkan dalam keluarga yang serba kekurangan. Hanya saja Tuhan telah menuliskan garis takdir anak manusia sebelum anak itu dilahirkan. Bagaimana anak menjalani hidupnya di kemudian hari adalah hasil bentukan orang-orang sekitarnya. Berusaha dan tidak pernah putus asa jauh lebih baik dari pada mengeluh dan putus asa.
Hiruk pikuk antara penjual dan pembeli baik pembeli eceran ataupun pedagang keliling selalu mewarnai pagi di Pandan Sari. Sejak pukul tiga dini hari seorang perempuan dengan anak laki-lakinya telah melayani pembeli dengan cekatan. Dagangan berupa hasil panen dari kebun dan beberapa titipan dari tetangga dengan semangat mereka tawarkan pada setiap orang yang lewat.
Sang Ibu menghitung belanjaan dan mengambil uang dari pembeli. Sang anak dengan cekatan mengikat pesanan sayuran, lalu memberikan kepada pembelinya. Dari gerak-geriknya, dia terlihat sudah terbiasa melayani pembeli meskipun masih anak-anak.
Tanpa terasa matahari telah beranjak bangun, sinar lembutnya samar-samar menerpa tenda tempat mereka berjualan. Si anak berdiri lalu mengambil tas yang berada di atas tumpukan karung bekas tempat dagangan, "Mak ... aku ke sekolah sekarang, ya. Nanti ditinggal Paklek Taksi."
"Iya ne, hati-hati," jawab ibu itu sambil menyodorkan sejumlah uang. Ibu itu dengan ringan melepas anaknya yang masih kecil berangkat sendirian.
"Ya ...." sambil mengambil uang dari tangan mamaknya, dia menjawab singkat lalu berbalik arah dan berjalan cepat menuju pangkalan taksi.
Pangkalan taksi dekat pasar hanya ada di pagi hari. Taksi-taksi tersebut sebenarnya bukan taksi dengan rute area pasar. Akan tetapi, taksi-taksi itu mengantar pedagang sebelum subuh dan akan pulang ketika hari telah terang agar bisa mengangkut pedagang dari kilo yang hendak pulang.
Anak itu bergegas masuk ke taksi biru. Letak sekolah searah dengan letak rumahnya jadi dia menumpang taksi yang sama ketika berangkat ke pasar tadi. Anak itu memilih bangku belakang, lalu duduk sambil memangku tas hitamnya yang terlihat penuh. Tas hitam itu tampak telah kusam dan sedikit kotor oleh lumpur.
Lima menit berselang taksi pun mulai bergerak. Sopir menjalankan taksi dengan perlahan. Sesekali sopir itu meneriakkan rute yang akan dilaluinya, "Start-strat! Batu Ampar! Nirwana! Kilo!"
Sementara itu, di bangku belakang anak itu menoleh ke kiri dan ke kanan dengan gelisah. Sesekali juga melongok ke arah sopir. Sepuluh menit berlalu taksi masih juga berjalan dengan lambat. Bahkan sang sopir sering menghentikan laju taksi dan menanyai orang-orang yang berdiri di pinggir jalan.
Seorang ibu duduk dengan terkantuk-kantuk sambil memegang keranjang kecil di pangkuannya. Keranjang berisi sayur-mayur, tahu, tempe, juga sebungkus ikan asin biji nangka. Ibu itu terbangun ketika tib-tiba sopir mengerem secara mendadak. Bahkan keranjang yang dia pegang hampir menindih si anak kecil yang duduk di sebelahnya. Ibu itu menoleh pada anak itu, "Kamu sendirian? Mau ke mana?" tanyanya.
"Dari pasar, Cil. Ini mau ke sekolah," jawab anak tersebut.
Empat ibu-ibu naik ke taksi yang mereka tumpangi, salah satunya duduk di sebelah kiri anak tersebut. Sekarang anak itu terjepit diantara dia ibu yang sama-sama memangku bawaan banyak. Sopir taksi kembali melajukan kendaraan. Kali ini sang laju taksi lebih cepat dari sebelumnya. Jumlah penumpang telah mencapai delapan orang. Bahkan, sekarang taksi telah dipenuhi dengan berbagai macam bawaan penumpang. Bahkan, ada dua karung bertumpuk di dekat pintu taksi, entah apa isi karung itu.
Taksi melaju dengan kencang ketika memasuki jalan raya. Tidak seperti biasanya yang selalu padat, pagi ini jalanan masih lengang. Perjalanan dari pasar ke kilo yang biasanya memerlukan hampir satu jam, pagi ini hanya ditempuh tiga puluh menit.
Sopir menghentikan taksi di seberang sebuah sekolah dasar. Dengan susah payah anak tadi keluar dari taksi yang dipenuhi karung dan penumpang, "Makasih, Paklek." sambil memberikan uang empat ribu, anak itu berterima kasih.
Taksi melaju kembali. Anak itu menyeberang dengan dibantu oleh satpam sekolah, "Tumben kamu endak terlambat, Dan. Sana cepat mandi, mumpung masih sepi!" perintahnya.
"He he he ... Iya, Pak." Anak yang dipanggil Dan itu lantas berlari memasuki area sekolah menuju kamar mandi yang ada di sebelah kanan ruang kelas.
Tak butuh waktu lama, Dan keluar dari kamar mandi sepuluh menit kemudian. Kini dia sudah memakai baju seragam merah putih dan bersepatu. Baju yang dipakai Dan terlihat kusut. Bahkan, warna putihnya sudah pudar dan berubah kekuning-kuningan. Juga terdapat banyak noda getah di sana. Keadaan celananya juga sama memprihatinkan. Celana itu sudah robek bagian lutut dan juga telah kependekan. Sepatu sedikit berlubang dan kaos kaki yang telah melar. Dari kamar mandi lalu Dan melangkah menuju kantin. Tas yang sudah terlihat kempis itu dia selempang di pundak.
"Ramadan ...."
Komentar
Posting Komentar